Selasa, 07 Desember 2010

APA YANG ANDA TAHU TENTANG TEKNOLOGI : BIOFILTER, PERIFITON, DAN BIOFLOC ???

Review Cara Mengatasi Limbah Nitrogen dalam Akuakultur : Teknologi Biofilter, Teknologi Perifiton, Teknologi Biofloc

Latar Belakang
       Perkembangan pesat Aquaculture menyebabkan pengaruh terhadap lingkungan, terutama polutan dari sisa pakan, sisa metaolisme dan faezes (Read and Fernandes, 2003)
       Polutan mengandung nutrien organik dan anorganik seperti ammonium, phosphorus, bahan organik (Piedrahita, 2003; Sugiura et al., 2006).
       Pada level lebih tinggi dapat menyebabkan bloomingnya mikroorganisme pathogen yang semakin bervariasi spesiesnya (Thompson et al., 2002).
       Untuk memproduksi 1 kg ikan butuh 1-3 kg pakan (dari hasil ekskresi, 35%  menjadi bahan organik), sisanya (65%) dlm bentuk N dan P yang tak digunakan dan mencemari lingkungan.
       Dalam Lingkungan akuakultur salah satu produk akhir metabolisme adalah Amonium, dimana antara NH3 dan NH4 berfluktuasi tergantung dari suhu dan pH (Timmons et al., 2002). Jumlah dari keduanya disebut Total Amonium Nitrogen (TAN)
       Pada kebanyakan ikan kultur amonium-N bersifat toksik pada konsentrasi 1,5 mg N/l, dan rata-rata pada sistem budidaya yang wajar konsentrasinya 0,025 mg N/l. (Neori et al., 2004; Chen et al., 2006). Demikian toksisitas Nitrat pada beberapa spesies ikan





Cara pembuangan ada 2, yaitu :

1)     1.  DI LUAR SISTEM BUDIDAYA
·         Penggunaan Kolam Treatmen/Kolam Tandon
- Bisanya dilengkapi Aerasi
- Atau dibuang langsung ke lingkungan melalui outlet
·         BIOFILTRASI

Ada 3 Macam, yaitu FISIK (Biasanya dengan Saringan/Sistem pengendapan berliku-liku, KIMIA (Ozon/UV) Untuk mengatasi N biasanya digunakan Filter Biologi untuk membantu proses Nitrifikasi.Secara garis besar ada 2 type Biofiltrasi, yaitu :
-          Merged (rotating biological contactors, trickling filters)
Teknologi Rotating Biological Contator  (RBC) merupakan sistem yang menggunakan beberapa substrat, yang terbuat dari : high-density polystyrene atau polyvinyl chloride, (Tawfik et al., 2004; Park et al., 2005; Brazil, 2006). Teknologi  ini dapat membantu merubah karbondioksida menggunakan oksigen dari udara dan dengan bantuan bakteri. Teknologi ini ada 2 seri, yaitu  seri independen dan seri compartment (Lavens and Sorgeloos, 1984; Brazil, 2006).


Miller and Libey (1985) menyebutkan bahwa teknologi ini menghasilkan nilai TAN yang lebih baik (0.19–0.79 g TAN/m2 hari, jika dibandingkan packed tower atau fluidized bed reactor (0.24 g TAN/m2 hari).
Brazil 2006 menyebutkan bahwa teknologi ini cukup efektif pada sistem Resirkulasi ikan nila, menghasilkan hanya sebesar 0,42 g TAN/m2 day. Dideteksi juga adanya Oksidasi amonia dipengaruhi oleh Kecepatan putaran, pengadukan bahan organik, staging, perputaran masa dan hidroulik.


Trickling Filter merupakan sistem yang menggunakan Trickling media dan Biofilm aerobic untuk mengendapkan sisa buangan budidaya. Selama terjadi pengendapan, oksigenasi terus berlangsung, dan pembuangan gas CO2 juga berlanjut.
Ada beberapa jenis trickling dengan berbagai luasan media seperti : Finturf artificial grass (284 m2/m3), Kaldnes rings (500 m2/m3), Norton rings (220 m2/m3) dan Leca atau light weight clay aggregate (500–1000 m2/m3) (Greiner and Timmons, 1998; Lekang and Kleppe, 2000; Timmons et al., 2006a).
Dalam sistem ini yang bekerja mengatasi sisa buangan adalah biological slim layer dan aerobik mikroorganisme.
Kamstra et al. (1998) melaporkan TAN areal removal rates  berkisar 0.24 s.d.  0.55 g TAN/m2 hari pada trickling filter sakla komersial. Hasil rekayasa lain menghasilkan 1.1 g TAN/m2 day, (Schnel et al., 2002; Eding et al., 2006). Sedangkan Lyssenko dan Wheaton (2006) melaporkan TAN areal removal rates of 0.64 g TAN/m2 day.




-          Submerged (e.g. fluidized sand biofilters, bead filters) fixed film filter
Bead Filter merupakan sistem yang menggunakan kombinasi Trickling media dan Granular type biological filter. Media yang biasa digunakan dalam sistem ini berisi polystyrene beads dengan diameter 1–3 mm dengan porositas 36–40% (Timmons et al., 2006a).
Tergantung dari featurnya area bead filter berkisar 1150 s.d. 3936 m2/m3 (Greiner and Timmons, 1998; Malone and Beecher, 2000; Timmons et al., 2006a).
Menurut Greiner and Timmons (1998) Bead filter menghasilkan 0.45–0.60 g/m2 TAN day, dan microbead 0.30 g/m2 day (Timmons et al., 2006a).

Fluidized sand biofilters merupakan sistem yang menggunakan pasir dengan area permukaan berkisar antara 4000–20000 m2/m3 dengan biaya tidak terlalu mahal, namun mendapatkan hasil yang baik pada sistem resirkulasi (Summerfelt, 2006)
Miller & Libey (1985) dan Timmons Summerfelt (1998) menyatakan fluidized sand reactor memiliki efisiensi berkisar 0.24 g N/m2 hari.

2) 2.  DI DALAM SISTEM BUDIDAYA

-          The periphyton treatment technique
      
Periphyton merupakan biota perairan yang menempel pada substrat. Didalamnya terdapat algae, bakteri, fungi, protozoa, dan invertebrata yang lainnya (Azim et al., 2005).
Produktivitas periphyton : 1-3 g C/m3 Substrat/hari atau 2 – 6 g dry matter/m3 per-hari (Azim et al., 2005). Periphyton membantu organic detritus menguraikan nutrient dari kolom air dan membantu mengontrol O2 dan pH di perairan.
Disamping membantu menguraikan an memanfaatkan amonia, periphyton juga menjadi penyedia makanan pada beberapa jenis ikan (Huchette et al., 2000; Azim et al., 2001, 2002, 2003a,b,c, 2004).
Selain memerlukan lahan yang luas untuk pemanfaatan peryphyton sangat tergantung sinar matahari, dan dalam skala laboratorium, sulit untuk memanen peryphyton, sehingga belum diketahui secara detail penguraian dan pemanfaatan N oleh peryphyton.
Untuk optimalisasi kerja peryphyton dalam kolam, biasanya digunakan static substrates (Azim et al., 2005), seperti tanaman air, bambu, hizol dan kanchi (Azim et al., 2002, 2003c).
Perifiton: kompleks biota akuatik sesil (imobil) terasosiasi dengan detritus, yang menempel pada substrat terendam; kompleks campuran mikroalga, cyanobacteria, heterotrophic mikroba, protozoa, dan detritus ; organisme bentik terkombinasi dengan mikroba biofilm (van Dam et al., 2002).
Seperti fitoplankton, perifiton dapat ditemukan pada banyak tipe perairan, mulai dari kolam kecil hingga laut luas; berbagai substrat dalam air dengan keberadaan cahaya dapat mensupport pertumbuhan perifiton
Pertumbuhan perifiton pada substrat dimulai dengan deposisi pelapisan substansi / materi organik terlarut dimana bakteri akan menempel melalui reaksi hidrofobik yang distimulasi oleh keberadaan mikropartikulat pada perairan eutrofik (kaya nutrisi) (Hoagland et al., 1982; Cowling et al., 2000).
Perifiton memiliki kelebihan dibandingkan fitoplankton karenasifatnya yang bentik sehingga lebih dekat dengan bagian air interstitial serta sedimen yang kaya nutrisi.
PERAN PERIFITON
1.       Bertindak sebagai produsen primer; sumber makanan; bahan baku potensial untuk energi alternatif, obat / kosmetika, pakan/ pangan alami, pupuk organik
2.       Indikator mutu kualitas air (tingkat pencemaran dalam perairan) ‐‐‐ penilaian biomass ( Chlorophyl), jenis, kondisi biologi dan komposisi komunitas periphyton.
3.       Menjaga kualitas air pada indicator mutu tertentu bagi perairan perikanan yang terkendali mencakup parameter fisika, kimia dan biologi.
4.       Dapat digunakan sebagai agen filtrasi dalam produksi akuakultur.
Kelebihan sistem akuakultur berbasis perifiton:
1.       Perifiton berperan sebagai sumber makanan / nutrisi,
2.       Sebagai substrat dan shelter untuk meminimalisasi efek limitasi daerah teritorial hewan budidaya (udang)
3.       Pengendalian kualitas air melalui pengurangan partikulat terlarut dan meningkatkan breakdown materi organik
4.       Meningkatkan nitrifikasi

-          Bio-flocs technology
      
Bioflocs juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen (Defoirdt et al., 2007; Halet et al., 2007)...Quorum sensing system???.
Pada air tawar, dengan memberikan karbohidrat kedalam air dalam sistem budidaya untuk memperbaiki C/N ratio, akan meningkatkan pertumbuhan bakteri heterotrof yang memanfaatkan nitrogen. Avnimelech et al. (1994)
Bahkan pada budidaya ikan nila intensif, meningkatkan efektifitas penggunaan protein hampir 2 kali lipat dibanding tanpa penumbuhan bakteri heterotrof ini, yaitu dari 23 % sampai 40 % . Avnimelech et al. (1994).
Pemberian kombinasi karbohidrat juga memberikan beberapa manfaat yang signifikan pada budidaya udang, yaitu : 1) meningkatkan pemanfaatan protein pakan yang berpengaruh pada biomassa udang 2) Menurunkan proporsi jumlah pakan yang diberikan 3) Mereduksi zat beracun TAN and NO2N dalam sistem, dan 4) Mereduksi konsentrasi nitrogen secara signifikan di kolam (Hari et al. (2006))

Bioflok yang baik berpengaruh baik terhadap pertumbuhan dan kesehatan ikan serta mutu air  kolam.(Bagian 2 dari seri tulisan Teknologi Bioflok)
Biofloc (bioflok) berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan floc (flok) yang berarti  gumpalan. Sebagaimana telah diuraikan pada artikel terdahulu, bioflok tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, dan bahan organik. Karena itu, mutu bioflok berbedSaveda-beda tergantung komponen penyusunnya. Ada bioflok yang baik dan ada bioflok yang jelek. Menurut Suprapto (Tim Teknis Shrimp Indonesia) Komponen penyusun bioflok, yaitu :

Komponen 1: Bahan organik
Bahan organik dalam air tambak udang intensif berasal dari sisa pakan, kotoran ikan, dan plankton atau jasad yang mati. Bahan organik yang terlarut dalam air akan diurai oleh mikroba (bakteri) menjadi mineral yang bermanfaat bagi fitoplankton. Dalam kolam yang menerapkan sedikit atau tanpa ganti air, bahan organik akan menumpuk dalam tambak dan akan diurai oleh mikroba. Bahan organik ini harus selalu dalam keadaan teraduk (tersuspensi) dalam kolom air serta harus dicegah agar tidak mengendap. Selain itu, kandungan oksigen terlarut harus cukup tinggi dengan arus yang merata agar oksigen tersebar di seluruh badan air sehingga bahan organik terurai dalam kondisi aerob (cukup oksigen).

Komponen 2: Bakteri
Bakteri terdiri dari bakteri yang menguntungkan dan merugikan bagi usaha budidaya ikan. Bakteri yang menguntungkan adalah bakteri yang tidak menimbulkan penyakit serta tidak menghasilkan senyawa yang meracuni udang, dapat mengurai bahan organik menjadi mineral yang bermanfaat bagi kestabilan plankton, dapat mengurangi senyawa beracun, meningkatkan kesehatan udang dan menekan perkembangan bakteri yang merugikan dalam media budidaya. Di antara bakteri yang menyusun flok ada yang menghasilkan biopolimer yang disebut  poli hidroksi butirat (PHB). Pemantauan terhadap total bakteri dan total vibrio (termasuk jenis vibrio berdasarkan warna koloni) harus diperhatikan dengan baik. Flok yang baik tersusun oleh banyak bakteri dengan total bakteri yang tinggi (107 – 109 cfu/ml) dan total vibrio kurang dari 103 - 104cfu/ml (vibrio hijau lebih sedikit daripada vibrio kuning). Sedangkan flok yang kurang baik tersusun oleh total bakteri yang rendah (104 – 105 cfu/ml) dan total vibrio lebih dari 103cfu/ml (vibrio hijau lebih banyak daripada vibrio kuning). Kandungan bakteri (yang menguntungkan) sebaiknya mendominasi hingga 70% dari komponen bioflok yang terbentuk.

Komponen 3: Algae
Dalam budidaya udang, jenis algae yang diharapkan tumbuh adalah dari kelompok diatom dan algae hijau. Beberapa jenis diatom yang hidup sebagai perifiton dapat turut menempel pada flok (Navicula, Amphora, Cymbella), yang berbentuk koloni (Skeletonema, Melosira, Chaetoceros) maupun yang uniseluler (Cyclotella, Coscinodiscus) turut membentuk flok yang baik untuk makanan udang. Sedangkan Nitzschia, Pseudonitzschia tidak diharapkan karena menghasilkan biotoksin. Diatom memberikan ciri flok yang berwarna kecokelatan. Sedangkan kelompok green algae memberikan ciri flok berwarna kehijauan. Meski green algae tidak dimakan oleh udang, namun kelompok algae ini bersifat stabil atau siklus hidup yang lebih lama. Di samping itu, beberapa jenis dari green algae  seperti Chlorella, Nannochloropsis, Tetraselmis dan Dunaliella dapat menekan perkembangan vibrio. Bioflok dianggap bermutu jelek bila terdapat dinoflagellata dalam jumlah yang banyak (lebih dari 10% dari komunitas algae yang ada). Di samping itu, bila algae yang menyusun didominasi oleh blue green algae (BGA) maupun flagellata (Euglenophyta) maka flok yang dihasilkan kurang baik bagi pertumbuhan udang. Populasi algae dalam flok sebaiknya sekitar maksimal 30%.

Komponen 4: Zooplankton
Dalam rantai makanan, zooplankton merupakan konsumer primer. Zooplankton umumnya pemakan fitoplankton (algae) dan detritus atau sisa bahan organik serta bakteri. Zooplankton yang sering ditemukan dalam bioflok adalah dari kelompok protozoa (terutamaCiliata), Rotifera (Brachionus, Rotaria, Pavella), kopepoda, dan cacing. Zooplankton terutama protozoa dan rotifera merupakan pemangsa bakteri pembentuk flok sehingga keberadaan kelompok organisme ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan flok terutama populasi bakteri di dalam flok.
Berdasarkan pengamatan terhadap komponen pembentuk bioflok selain bakteri, algae jenis diatom yang ditemukan adalah Coscinodiscus, yang tumbuh dalam air yang mengandung bahan organik tinggi. Sedangkan zooplankton yang ditemukan adalah jenisBrachionus (rotifera). Kolam yang diamati, semua berwarna kecokelatan dengan permukaan air dipenuhi oleh busa. Sedangkan warna air yang kehijauan, jenis algae yang tumbuh adalahOscillatoria dan Anabaena.

Pengaruh bioflok
Kondisi kesehatan udang dan pertumbuhannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Bioflok memberi pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan kesehatan. Bioflok yang baik akan memberikan pengaruh yang baik bagi udang, baik dari segi pertumbuhan, kesehatannya maupun kestabilan mutu airnya.

Kepekatan bioflok
Untuk mengukur kepekatan bioflok dapat dilakukan dengan menggunakan Imhoff con. Caranya, ambil air satu liter dari beberapa tempat dan endapkan pada alat tersebut. Tunggu 15—30 menit sampai flok mengendap. Parameter yang terukur dinyatakan sebagai Volume Suspended Solid (VSS) dengan satuan ml VSS per liter. Volume bioflok harus dipertahankan <15 ml VSS per liter. Dan bila mencapai 15 ml per liter harus dilakukan pengenceran.
Yang mempengaruhi bioflock :
     Salah satu yang membuat teknologi biofloc jadi mahal untuk akuakultur adalah   
     kebutuhan akan listrik energi yang cukup tinggi untuk mempertahankan keberadaan 
     floc supaya tetap melayang di kolom perairan dengan menggunakan aerasi dan atau 
     pengadukan. Demikian grafik kebutuhan energi listrik untuk mempertahankan 
     terbentuknya floc dalam luasan kolam/tambak


     

Baearapa studi kasus pemanfaatan N oleh organisme yang telah diterapkan dalam akuakultur untuk meminimalisasi limbah buangan Nitrogen hasil ekskresi dan sisa pakan


Atau dapat disimpulkan dalam sistem budidaya secara umum :

                        SEMOGA BERMANFAAT HASIL STUDI PUSTAKA INI

PRESENT STATUS KHV (KOI HERPES VIRUS) ATAU CNGV ATAU CyHV-3


DISINI AKAN DIBAHAS REVIEW DARI 17 JURNAL INTERNASIONAL DAN KONDISI PENANGANAN PENYAKIT KHV DI INDONESIA DAN DUNIA

PEMBAHASAN LENGKAP MELIPUTI :

I.   IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI

II. MORFOLOGI VIRUS KHV
III. PENYEBARAN KHV

IV. CARA DIAGNOSA VIRUS KHV


V. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN KHV







DAFTAR JURNAL YANG DI REVIEW

No
Nama Jurnal/Buku
Judul
Pengarang
Tahun
1
Virology Journal
Methodology : An inexpensive and rapid diagnostic method of Koi Herpesvirus (KHV) infection by loop-mediated isothermal amplification

Hatem Soliman and Mansour El-Matbouli
2005
2
Disease Aquatic Organism

Vol.48:101–108,
Initial characteristics of koi herpesvirus and
development of a polymerase chain reaction assay to detect the virus in koi, Cyprinus carpio koi

Oren Gilad1, Susan Yun1, Karl B. Andree, Mark A. Adkison, Amir Zlotkin,
Herve Bercovier, Avi Eldar, Ronald
P. Hedrick
2002
3
BMC Microbiology
Methodology article : Cloning of the koi herpesvirus (KHV) gene encoding thymidine kinase and its use for a highly sensitive PCR based diagnosis

Herve Bercovier, Yolanta Fishman, Ronen Nahary, Sharon Sinai,
Amir Zlotkin, Marina Eyngor, Oren Gilad, Avi Eldar and
Ronald
P Hedrick
2005
4
Applied and Environmental Microbiology
Vol. 71, No. 11
Detection of Carp Interstitial Nephritis and Gill Necrosis Virus
in Fish Droppings

Arnon Dishon, Ayana Perelberg, Janette Bishara-Shieban, Maya Ilouze,
Maya Davidovich, Shlomit Werker, and Moshe Kotler1
2005
5
Aquaculture vol : 286 (2009) 1–11
Breeding for disease resistance of Penaeid shrimps
James Cock, Thomas Gitterle, Marcela Salazar, Morten Rye
2009
6
Aquaculture (2010)
Genetic analysis of common carp (Cyprinus carpio) strains. II: Resistance to koi
herpesvirus and Aeromonas hydrophila and their relationship with pond survival
Jørgen Ødegård, Ingrid Olesen Peter Dixon, Zsigmond Jeney, Hanne-Marie Nielsen, Keith Way,
Claire Joiner, Galina Jeney, László Ardó, András Rónyai  Bjarne Gjerde
2010




7




Aquaculture 288 (2009) 44–50




Major histocompatibility (MH) class II B gene polymorphism influences disease
resistance of common carp (Cyprinus carpio L.)




Krzysztof Ł. Rakus, Geert F. Wiegertjes, Patrycja Jurecka, Peter D. Walker ,
Andrzej Pilarczyk, Ilgiz Irnazarow




2009
8
Journal of Virology
Vol. 79, No. 4
Description of an as Yet Unclassified DNA Virus from Diseased Cyprinus carpio Species
Marina Hutoran, Ariel Ronen, Ayana Perelberg,
 Maya Ilouze, Arnon Dishon
Izhak Bejerano, Nissim Chen, and Moshe Kotler
2005
9
Journal of World Aquacultre Society :
Vol. 41, No. 5
October, 2010
Detection of Cyprinid Herpesvirus-3 in Field Samples of Common and Koi Carp by Various Single-Round and Nested PCR Methods
D. Pokorova, S. Reschova, J. Hulova, M. Vicenova, and T. Vesely
2010
10
Journal of Fish Diseases 2002, 25, 171-178
Detection of koi herpesvirus DNA in tissues of infected fish
W L Gray, L Mullis, S E LaPatra, J M Groff and A Goodwin
2002
11
Vaccine 21 (2003) 4677–4684
Efficient vaccine against the virus causing a lethal
disease in cultured Cyprinus carpio
Ariel Ronena, Ayana Perelberg, Julia Abramowitz, Marina Hutoran,
Simon Tinman, Izhak Bejerano, Michael Steinitz, Moshe Kotler
2003
12
The Israeli Journal of Aquaculture – Bamidgeh 55 (1), 2003, 5-12.
EPIDEMIOLOGICAL DESCRIPTION OF A NEW VIRAL DISEASE
AFFLICTING CULTURED CYPRINUS CARPIO IN ISRAEL
Ayana Perelberg, Margarita Smirnov, Marina Hutoran, Ariel Diamant,
Yitzhak Bejerano and Moshe Kotler
2003
13
Fish Pathology

Oral immunization of common carp with a liposome vaccine fusing koi herpes virus antigen
Shinya yasumoto,Yoshitaka kuruya, Masahiro yusada,Tetsuro yoshimura, Teruo miyasaki
2006
14
Journal of Wildlife Diseases, 42(3), 2006, pp. 658–662
An Unusual Koi Herpesvirus Associated with a Mortality Event of Common Carp Cyprinus carpio in New York State, USA
Stephanie G. Grimmett, Janet V. Warg,Rodman G. Getchell, Donna J. Johnson and Paul R. Bowser
2006
15
Vaccine 23 (2005) 3396–3403
Protection of cultured Cyprinus carpio against a lethal
viral disease by an attenuated virus vaccine
Ayana Perelberg ,Ariel Ronen, Marina Hutoran, Yoav Smith, Moshe Kotler
2005

16

Veterinary
Medicina, 52, 2007 (12): 562–568

Tests for the presence of koi herpesvirus (KHV)
in common carp (Cyprinus carpio carpio) and koi carp
(Cyprinus carpio koi) in the Czech Republic

D. Pokorova, V. Piackova, A. Cizek, S. Reschova, J. Hulova,
M. Vicenova, T. Vesely1

2007
17
MICROBIOLOGY AND MOLECULAR BIOLOGY REVIEWS, Mar. 2006, p. 147–156
Characterization of a Novel Virus Causing a Lethal Disease
in Carp and Koi
Maya Ilouze, Arnon Dishon, and Moshe Kotler
2006

  


I.   IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI

Tanda-tanda klinis KHV biasanya tidak spesifik. kematian terjadi sangat pesat sejak populasi ikan terinfeksi. Kematian dimulai dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah tanda-tanda klinis awal tidak terlihat. Dalam penelitian, 82% ikan terkena virus pada suhu air 72 ° F (22 ° C) mati dalam 15 hari pertama (Ronen et al 2003.). Infeksi KHV dapat menghasilkan lesi insang parah yang memperlihatkan pada insang terdapat bintik-bintik dengan bercak merah dan putih (Gambar 1) (mungkin serupa dengan tanda-tanda penyakit Columnaris). Bagian putih  pada insang adalah karena terjadi nekrosis (kematian) dalam jaringan insang. Terjadinya lesi pada insang disebabkan oleh penyakit KHV adalah tanda-tanda klinis yang paling umum. Tanda-tanda eksternal lainnya  yang mungkin terjadi adalah terjadinga perdarahan pada insang, cekung mata, dan terjadi bagian pucat atau lecet pada kulit. 

Pada beberapa kasus ikan mas yang terserang KHV memiliki hidung berlekuk (A. Goodwin, University of Arkansas di Pine Bluff).  Tumbuhnya bakteri dan parasit sebagai infeksi sekunder mungkin menjadi masalah yang semakin memperparah  kerusakan yang disebabkan oleh infeksi primer akibat virus. Pemeriksaan mikroskopis pada insang secara biopsi mengungkapkan tingginya jumlah bakteri dan berbagai parasit yang menjadi infeksi sekunder (Hedrick et al 2000;. OATA 2001; Goodwin 2003). Tanda-tanda internal pada KHV adalah variabel dan non-spesifik tetapi dapat mencakup lebih besar seperti terjadinya adhesi dalam rongga tubuh dan memburuknya penampilan organ internal (Hedrick et al 2000.; Goodwin 2003). Tingkah laku ikan yang terserang virus ini biasanya  ikan sering berenang di permukaan akibat sulit bernafas (insang rusak), gerakan berenangnya lamban dan menunjukkan terjadinya gangguan pernapasan dan gerakan renang tidak terkoordinasi (jika serangan sudah mencapai otak).
Jika kita kaji lebih dalam hasil histopatologi pada ikan sakit menunjukkan lesi paling menonjol diamati dalam insang, kulit, ginjal, limpa, hati, dan sistem pencernaan. 

Perubahan patologis yang dicatat pada insang dimulai pada 2 dpi (day past infection) atau 2 hari setelah ikan terinfeksi, sebagaimana dibuktikan oleh hilang/rusaknya lamella disertai dengan menyusupnya campuran sel inflamasi. Setelah 6 dpi dan seterusnya, perubahan di insang menjadi lebih jelas, dengan penghapusan lengkap gambaran insang disertai oleh peradangan parah di hampir semua filamen. Kemacetan dari sinus vena sentral dari insang juga jelas terlihat pada tahap ini. Perubahan serupa jelas pada 8 dan 10 dpi. Pada ikan yang terinfeksi dengan CNGV/KHV, pada tulang saring insang (gill arch) menunjukkan efek yang lebih mudah dikenali daripada perubahan yang diamati dalam filamen. Ini termasuk peningkatan sub epitel, peradangan dan kongesti pembuluh darah di gill arch. Proses inflamasi itu disertai peluruhan permukaan epitel yang tercatat pada usia 6 dpi. Sementara cedera insang didahului semua perubahan histologis lain. Maka masuk akal jika pendapat sebelumnya bahwa efek ini disebabkan oleh infeksi sekunder. Namun, proses peradangan terdeteksi dalam insang tampaknya didorong oleh CNGV sendiri bukan oleh infeksi sekunder, karena tidak ada peningkatan jumlah mikroorganisme terdeteksi pada 2 sampai 6 dpi meskipun ditandai adanya respon inflamasi diawal. Populasi mikroorganisme tidak meningkat sampai 8 sampai 10 dpi, ketika fokus penggundulan epitel insang terjadi.
Selain insang, perubahan patologis yang paling menonjol terlihat pada ginjal. Sebuah peritubular inflamasi ringan terlihat jelas menyusup sejak 2 dpi. Pada 6 dpi, inflamasi interstisial berat terjadi dan disertai kemacetan pembuluh darah. Pada 8 dpi infiltrasi lebih parah dan disertai dengan degenerasi epitel tubular berbulu terlihat di banyak nefron, bersama dengan kehadiran limfosit intraepithelial. Pada awal 6 dpi, sel besar dengan sitoplasma buncit terlihat berbusa dan pada beberapa badan intranuklear terjadi inklusi yang tersebar di antara inflamasi sel interstisial. Sel-sel “berbusa” ini mengingatkan kita pada cytopathic efek yang diamati pada kultur sel yang terinfeksi. Organ lain yang juga jelas terpengaruh : pada analisis histologi hati menunjukkan inflamasi ringan terlihat terutama pada parenkim, sementara bagian otak menunjukkan meningeal fokus dan peradangan parameningeal.
Berdasarkan isolasi virus dengan menggunakan galur sel sirip koi (KF-1) yang identik dengan virus yang ditemukan pada jaringan ikan yang terinfeksi, Hedrick dan koleganya telah menyebut virus ini sebagai Koi Herpes Virus (KHV) (Gilad, et al., 2002). Namun dengan menggunakan genome virus yang diisolasi telah ditemukan virus ini memiliki DNA viral yang sangat berbeda dan molekul DNA untai ganda (dsDNA) sebesar 270-290 kbp (Hutoran, et al., 2005) yang menunjukkan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan herpes virus lain yang sudah diketahui yaitu 120-240 kbp (McGeoch, et al., 2000). Dengan karakteristik yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh famili herpesvirus dan berdasarkan pathobiologi penyakit ini , pada ikan mas dengan menggunakan immunohistokimia, virus ini disebut juga sebagai Carp Interstitial Nephritis and Gill Necrosis Virus (CNGV) (Dishon, et al., 2002, Pikarsky, et al., 2004).
Penentuan kedekatan virus ini dengan menggunakan analisis sequence dibandingkan dengan tiga famili herpesviridae yaitu pox herpesvirus ikan mas (Cyprinid herpesvirus 1, CyHV-1), haematopoietic necrosis herpesvirus ikan mas koki (Cyprinid herpesvirus 2, CyHV-2) dan channel catfish virus (Ictalurid herpesvirus 1, IcHV-1), telah menunjukkan virus ini berkerabat dengan dengan CyHV-1 dan CyHV2 dan diusulkan dengan nama Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV-3) (Waltzek, et al., 2005).
Virus ini juga diusulkan untuk dikelompokkan bersama herpesvirus akuatik lainnya sebagai alloherpesviridae (Ilouze, et al., 2006b) diluar famili herpesviridae klasik yang sudah dikenal memiliki tiga subfamili Alpha-, Beta-, dan Gammaherpesvirinae (McGeoch, et al., 2000). Namun demikian secara umum, virus ini telah lebih dikenal sebagai KHV seperti penamaan pertama kalinya. Ilouze, et al. (2006a) menyebutkan KHV telah dapat dikonfirmasi sebagai agen

Penentuan kedekatan virus ini dengan menggunakan analisis sequence dibandingkan dengan tiga famili herpesviridae yaitu pox herpesvirus ikan mas (Cyprinid herpesvirus 1, CyHV-1), haematopoietic necrosis herpesvirus ikan mas koki (Cyprinid herpesvirus 2, CyHV-2) dan channel catfish virus (Ictalurid herpesvirus 1, IcHV-1), telah menunjukkan virus ini berkerabat dengan dengan CyHV-1 dan CyHV2 dan diusulkan dengan nama Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV-3) (Waltzek, et al., 2005).
penyebab penyakit masal yang menyebabkan kematian pada ikan mas dan koi berdasarkan pada data, sebagai berikut:
1)    Virus dapat diisolasi dari ikan yang sakit dan tidak dari ikan yang sehat (naive specimen)
2)    Inokulasi virus yang ditumbuhkan pada media sel sirip koi (KFC) dan menyebabkan sakit yang sama pada naive specimen,
3)    Ko-kultivasi sel ginjal dari spesimen yang diinduksi penyakit dapat menghasilkan virus yang sama ketika ditumbuhkan pada media KFC
4)    Transfer virus dari ikan sakit ke media kultur sirip ikan mas (CFC) dalam tiga siklus dapat dilakukan
5)    Isolasi virus yang dikloning pada kultur jaringan dapat menginduksi penyakit yang sama pada ikan
6)    Sera kelinci yang dibuat untuk melawan virus yang dimurnikan dapat berinteraksi secara spesifik dengan jaringan yang berasal baik dari ikan yang diinfeksi pada eksperimen ataupun dari ikan sakit dari kolam
7)    DNA viral telah didentifikasi pada KFC yang dinfeksi dan pada ikan sakit tetapi tidak dari ikan sehat.

Identifikasi awal KHV ini telah memudahkan diagnosis penyakit dengan infeksi KFC, PCR dan metode immunologi (Ilouze,etal.,2006a). KHV memiliki 31 polipeptida virion dimana 12 diantaranya memiliki berat molekul yang sama dengan herpesvirus cyprinid (CHV) dan 10 virion sama dengan channel catfish virus (CCV) (Gilad, et al., 2002). Genom KHV adalah molekul linear dsDNA dengan ukuran sekitar 270-290 kbp dan berbeda dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui, diantaranya vaccinia virus (sekitar 185 kbp) dan herpes simplex virus type 1 (sekitar 150 kbp) (Hutoran, et al., 2005). Waltzek, et al. (2005) telah menunjukkan sekuen asam amino KHV pada gen DNA helicase (GenBank accession no. AY939857), intercapsomeric triplex (GenBank accession no. AY939859), DNA polymerase (GenBank accession no. AY939862) dan major capsid protein (GenBank accession no. AY939864). KHV memiliki dua gen yang belum pernah didapatkan pada genome anggota herpesviridae, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), serine protease inhibitor (Ilouze, et al., 2006a), dan menghasilkan sekurangnya empat gen yang mengkode protein yang sama dengan yang diekspresikan oleh virus pox, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), ribonucleotide reductase (RNR), thymidine kinase (TK) dan B22R-like gene (Ilouze, et al., 2006b). Sekuen TK telah diisolasi dan dikembangkan untuk analisis PCR dan dapat mengamplifikasi fragmen template DNA KHV pada 409 bp dan tidak dapat mengamplifikasi fragment template CCV, CHV ataupun galur sel KF-1 (Bercovier, et al., 2005).

II. MORFOLOGI VIRUS KHV

KHV memiliki ukuran diameter 170-230 nm (Haramoto, et al., 2007), sedangkan inti virus berukuran 100-110 nm dengan bentuk icohedral (Hutoran, et al., 2005). Partikel inti ditemukan juga berbentuk circular atau poligonal dengan diameter 78-84 nm dan ekstraseluler virus terbungkus sebagai virion matang dengan diameter sekitar 133 nm (Choi, et al., 2004). Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan inti (Hutoran, et al., 2005). Antara pembungkus dengan nucleocapsid dipisahkan oleh celah electron-lucen sekitar 10 nm (Choi, et al., 2004). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan kompleks nucleoprotein (Hutoran, et al., 2005). Virus ini memiliki kepadatan bouyant sebesar 1.16 g/ml (Ilouze, et al., 2006a) dapat dipurifikasi menggunakan sentrifugasi pada gradient sukrosa dengan pita 37-39% sukrosa (Hutoran, et al., 2005).





III. PENYEBARAN KHV
3.1. Cara Penyebaran
Cara penyebaran KHV termasuk kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi, lendir dari ikan terinfeksi dan air, lumpur atau yang lain/vektor yang telah masuk  ke dalam sistem budidaya dan kontak langsung dengan organisme yang terkontaminasi. Virus menginfeksi dan masuk kedalam tubuh ikan rentan melalui insang/usus (Disyon et al. 2005). Ikan rentan yang terkena KHV dapat sekedar terinfeksi, terjangkit penyakit dan mati atau mungkin selamat dari wabah awal penyakit dan menjadi pembawa virus sangat tergantung pada kondisi suhu air (OATA 2001). Ada keyakinan dari peneliti bahwa pembawa penyakit KHV tidak akan pernah lagi menunjukkan tanda-tanda klinis penyakit KHV meskipun mereka masih terinfeksi dan menyebarkan penyakit pada ikan rentan Bergman et al. (2006) Selain itu juga terdeteksi bahwa DNA virus KHV secara klinis terdapat dalam ikan mas dan ikan hias carper spesies lainnya, hal ini menunjukkan bahwa spesies ini juga dapat menjadi carrier (pembawa virus) dan mungkin bisa terjangkit virus dan menjadi penyebab terjangkitnya KHV.
Bagaimana virus KHV memasuki tubuh inangnya (ikan mas) masih menjadi satu pertanyaan. Dugaan/teori sementara yang berkembang yaitu, melalui insang atau melalui usus. Berdasarkan deteksi CNGV di lendir insang dan lamella (Bergmann, data tidak dipublikasikan), tampaknya sangat dimungkinkan bahwa virus menginfeksi ikan melalui insang, virus bereplikasi di sana, dimulai dengan menginduksi peluruhan dan nekrosis mukosa, dan kemudian kembali ke air. Skenario ini dapat menjelaskan penyebaran penyakit menular ini berjalan dengan cepat. Dari insang, virus dapat dengan cepat ditransfer ke ginjal, di mana ia berada di sel darah putih dan menyebabkan nefritis interstisial parah. Pelokalan dari virus di dalam sel darah putih meningkatkan kemungkinan bahwa virus tersebut cepat dipindahkan ke organ dalam melalui sel darah putih yang terinfeksi dan kemudian berkembang biak di epitel sel-sel ginjal dan usus. Virus ini dilepaskan ke air baik melalui shedding atau bersama-sama dengan sloughed epitel dan sel inflamasi lokal yang dihasilkan dari peradangan yang parah. Kemampuan untuk menyerang ikan melalui insang, bereplikasi di sana, dan kemudian akan dirilis melalui air adalah sama dengan kasus virus pernapasan pada mamalia yang menginfeksi pernapasan epitel, replikasi di sana, dan tersebar melalui sirkulasi udara dan aerosol. Cara ini mungkin menjadi yang paling umum juga pada penyebaran virus di perairan. Namun, besarnya jumlah DNA virus ditemukan di dalam usus lebih awal setelah infeksi, dan cluster partikel virus yang terdeteksi oleh mikroskop electron berada di dalam sistem usus. Dengan demikian, adanya kemungkinan bahwa virus masuk ke dalam tubuh ikan melalui sistem pencernaan juga harus dipertimbangkan. Baru-baru ini kami menemukan bahwa kotoran ikan yang terinfeksi mengandung antigen CNGV, virus DNA, dan partikel menular. Hal ini sedang diasumsikan tetapi belum terbukti, bahwa virus tersebut dapat diawetkan dalam tinja untuk waktu yang lama, terutama selama musim dingin. 

3.2. Epidemologi KHV
            Jean-Christophe Avarre (2010) meneliti tentang epidemologi pada KHV di Indonesia dengan pendekatan molekuler. Genom lengkap dari 3 strain KHV (USA, Jepang dan Israel) telah selesai di skuensing. Hasil sekuensing mengarah ketiga virus 99% indentik. Perbedaan utama terletak pada pasangan pendek yang berulang-ulang yang sering disebut sebagai VNTR (Variable Number of Tandem Repeats). Penggunaan analisa multiple lokus VNTR (MLVA) yang sering digunakan pada epidemologi bakt.eri sering digunakan. Sedangkan informasi tentang cara eksploitasi sekuen VNTR yang mungkin dilakukan untuk type virus masih langka. Hal tersebut dimungkinkan karena tingkat evolusi sangatlah memperngaruhi pengulangan sekuen pada virus. Pada penelitian yang dilakukan menggunakan metode MLVA yang dikembangkan untuk KHV. Sampel yang diteliti dari Indonesia, Perancis dan Belanda. 8 buah loci telah terseleksi dan di validasi secara invitro dan dalam kriteria percobaan. Mereka melakukan estimasi pertama untuk melihat keragaman genetik dari 38 sample KHV.
Dari hasil penelitian ini secara garis besar dapat dilihat bahwa KHV strain Indonesia memiliki hubungan yang dekat (sekerabat) dengan KHV dari Belanda dan Jepang. Sedangkan pada strain dari Perancis, Amerika (USA), dan Israel masih sekerabat. KHV dari Belanda yang memiliki keragaman yang terbesar.

IV. CARA DIAGNOSA VIRUS KHV

Penyebaran virus KHV yang sangat cepat menyebabkan beberapa laboratorium berkompetisi untuk mengembangkan alat diagnosa yang efisien untuk mengidentifikasi virus. Diagnosis yang cepat (sedini mungkin) terhadap penyakit ini sangat penting bagi petani, penggemar, dan otoritas veteriner, yang memungkinkan mereka untuk dengan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penyebaran penyakit ini. Hal ini juga memungkinkan penggemar untuk menyimpan ikan mereka dengan meninggikan suhu dan memungkinkan petani untuk memajukan pemasaran/pemanenan ikan mereka.  Beberapa teknik diagnostic sedang digunakan, termasuk isolasi virus di berbudaya sel, histologis dan metode imunohistokimia, mikroskop elektron, immunosorbent assay enzim-linked (ELISA), PCR, dan hibridisasi in situ. Metode-metode ini digambarkan secara detail oleh Haenen et al. dan Pokorova et al. Diagnostik identifikasi KHV dapat dilakukan dengan beberapa metode (langsung dan tidak langsung). Metode langsung adalah prosedur yang mendeteksi virus yang sebenarnya atau "potongan" virus. Metode tidak langsung adalah prosedur quantitate respon kekebalan tubuh dengan mengukur tingkat antibodi (Hedrick et al 2000;. OATA 2001; Goodwin 2003). Metode langsung digunakan untuk mengidentifikasi KHV meliputi:
1.    Isolasi dan identifikasi virus (yaitu, menumbuhkan virus) menggunakan garis sel rentan seperti Koi Fin (KF) {baris sel pertumbuhan yang optimal diamati pada suhu antara 59 ° dan 77 ° F (15 ° dan 25 ° C)}.
2.     Teknik PCR yaitu, pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kehadiran materi DNA KHV. Untuk tes diagnostik langsung, jaringan dikeluarkan dari ikan hidup yang
dikumpulkan kemudian. Isolasi dan deteksi virus juga bisa dilakukan dari jaringan dari ikan mati lagi (baru beberapa jam) juga bisa dilakukan. Pengujian ini dapat dilakukan tnpa mematikan ikan secara langsung. Tes bisa dilakukan pada sampel seperti darah, feces, lendir dan klip insang (yaitu secara biopsi), tetapi tes ini dapat menghasilkan hasil alakukan apat dilakukan kurang definitif atau hasil yang kurang akurat.
Herve Bercovier et. al (2005) mengungkapkan bahwa penelitiannya menghasilkan sebuah tes PCR yng kuat dan sensitive berdasarkan urutan gen untuk mengidentifikasikan KHV. Cara ini dikembangkan untuk meningkatkan kecepatan dan keakuratan diagnosis infeksi KHV. Dari sebuah genomic library KHV, suatu hipotetis timidin gen kinase (TK) diidentifikasi, subcloned dan dinyatakan sebagai protein rekombinan. Karakterisasi Awal dari TK rekombinan menunjukkan bahwa ia memiliki aktivitas kinase menggunakan dTTP tetapi tidak dCTP sebagai substrat. Sebuah uji PCR berdasarkan primer dipilih dari DNA yang didefinisikan urutan gen TK dikembangkan dan mengakibatkan diamplifikasi fragmen 409 pb. TK berbasis PCR assay tidak memperkuat DNA herpesvirus ikan lain seperti Cyprinid Herpes (CHV) dan virus pada catfish (CCV). Alat tes PCR TK berbasis khusus untuk mendeteksi KHV dan mampu mendeteksi sedikitnya 10 fentograms KHV DNA sesuai dengan 30 virion. Setelah TK PCR ini dibandingkan dengan tes PCR sebelumnya untuk biakan virus pada sakit ikan terbukti menjadi metode yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi KHV. Kesimpulan penelitian ini bahwa TK PCR assay yang dikembangkan dalam pekerjaan ini ditunjukkan untuk mendeteksi KHV secara lebih spesifik untuk. Alat tes PCR TK berbasis lebih sensitif untuk mendeteksi KHV dari tes PCR karena mampu mendeteksi sedikitnya 10 fentograms KHV DNA sesuai dengan 30 virion.
3.    LAMP (Loopmediated isothermal amplification) Hatem Soliman dan Mansour El-Matbouli (2005)  mengungkapkan bahwa diagnosis cepat bidang KHV pada ikan mas dan koi dikembangkan menggunakan loopmediated isotermal amplifikasi (LAMP). Reaksi LAMP cepat diperkuat dengan asam nukleat spesifisitas tinggi dan efisiensi dalam kondisi isotermal menggunakan water bath sederhana. Dua metode ekstraksi DNA dari jaringan host dibandingkan: ekstraksi dengan air mendidih dan dengan menggunakan ekstraksi kit komersial. Satu set enam primer - dua primer batin, dua primer luar dan dua loop primer - dirancang dari amplikon KHV. Kondisi reaksi ini dioptimalkan untuk mendeteksi KHV dalam 60 menit pada 65 ° C dengan menggunakan Bst (Bacillus stearothermophilus) DNA polimerase.Ketika divisualisasikan dengan elektroforesis gel, produk dari assay LAMP KHV muncul sebagai pola tangga, dengan banyak band ukuran berbeda dari 50 pasangan basa-(bp) sampai dengan pemuatan baik. KHV LAMP produk juga bisa hanya dideteksi secara visual dengan menambahkan SYBR Hijau I ke tabung reaksi dan mengamati perubahan warna dari oranye menjadi hijau. Semua positif untuk virus melalui visual sampel deteksi dikonfirmasi positif dengan elektroforesis gel. LAMP KHV memiliki kepekaan sama sebagai alat tes PCR standar untuk mendeteksi KHV. Kesimpulan penelitian ini menguraikan bahwa assay LAMP dapat mempercepat untuk diagnosis KHV. Seluruh prosedur hanya memerlukan 90 menit untuk menghasilkan data : 15 menit untuk ekstraksi DNA; 60 menit untuk reaksi LAMP, 2 menit untuk deteksi visual menggunakan SYBR Hijau I. Tes ini dapat digunakan di bawah bidang kondisi karena satunya peralatan yang diperlukan diperlukan adalah water bath.
4.    Tes tidak langsung untuk KHV termasuk Pengujian Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Virus Netralisasi (VN). Tes-tes ini dapat dilakukan pada sampel darah dan, oleh karena itu tanpa mematikan ikan sampel. ELISA atau VN dapat memberikan bukti bahwa ikan telah atau pada satu waktu itu memiliki respon imun (yakni, produksi antibodi) terhadap KHV. ELISA atau VN positif pada uji KHV menunjukkan bahwa ikan telah menghasilkan antibodi terhadap KHV dan baik mengalami wabah atau menjadi carrier.  Namun, sel kekebalan memproduksi antibodi-waktu untuk menjadi aktif, dan dari waktu ke waktu, jika ikan tidak lagi sakit, produksi KHV-spesifik-antibodi dapat menjadi lambat atau bahkan berhenti. Oleh karena itu, ELISA atau VN mungkin tidak mampu mendeteksi antibodi terhadap KHV jika infeksi terjadi pada ikan ya belum memproduksi antibodi (masih terlalu kecil) atau jika ikan belum memiliki waktu untuk memproduksi antibodi. Hasil negatif baik oleh tes langsung atau tidak langsungtidak selalu berarti ikan tidak carrier. Belum ada tes yang dapat mendeteksi ikan yang masih hidup itu carier atau survivor (tanpa mengandung KHV).
Arnon Dishon et al (2005) melakukan penelitian dengan analisis molekul menggunakan immunohisttokimia dan mikroskop elektron yang menunjukkan bahwa virus ini ada terutama di dalam usus dan ginjal ikan terinfeksi. Berdasarkan pengamatan ini, dapat menyimpulkan bahwa virus dan atau komponen virus mungkin muncul dalam kotoran ikan mas yang terinfeksi. Di sini juga dilaporkan bahwa (i) dengan menggunakan PCR kita dapat menunjukkan ikan yang kotoran mengandung DNA virus, (ii) kotoran ikan mengandung antigen virus yang bermanfaat untuk diagnosis CNGV, dan (iii) kotoran ikan mengandung virus aktif, dapat menginfeksi ikan mas berbudaya sel-sel otak umum dan menginduksi penyakit. Jadi, temuan ini menunjukkan bahwa CNGV/KHV dapat diidentifikasi dengan menggunakan kotoran tanpa mengambil biopsi atau membunuh ikan dan CNGV dapat menular lewt kotoran ikan yang sakit. Kemungkinan bahwa kotoran ikan melestarikan CNGV layak dipelajari selama musim/dalam kondisi nonpermissive. Tampilan pada fase awal (3 sampai 5 dpi) partikel virus pada ikan mas memungkinkan deteksi noninvasif dari CNGV dengan menggunakan PCR, ELISA, dan infeksi sel kultur. Meskipun sebagian besar metode diagnostik sedang digunakan, Namun semua metode tersebut memakan waktu, melelahkan dan membutuhkan peralatan khusus. Baru-baru ini, sebuah "satu langkah ELISA kit" dikembangkan oleh AD Thompson dan kolaborator-nya, dan DNA loop-mediated isothermal metode amplifikasi digambarkan oleh Gunimaladevi.et al dan dengan Soliman dan El-Matbouli (diatas). Identifikasi DNA virus tidak selalu berhasil, sedangkan deteksi antibodi anti-CNGV dalam serum ikan ini mudah dilakukan dengan ELISA.  Sayangnya, kit yang cocok untuk mendeteksi antibodi anti-CNGV belum tersedia. Demikian ini beberapa gambar hasil tampilan identifikasi CNGV/KHV menggunakan ELISA yang dilakukan oleh Arnon Dishon et al (2005)






V. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN KHV

5.1. Pencegahan

            Akibat wabah KHV telah menyebabkan kerugian besar di fasilitas ikan mas dan koi menyebabkan ada kekhawatiran bahwa ikan yang selamat adalah pembawa, maka siapa pun dengan koi yang telah didiagnosis dengan KHV harus mempertimbangkan depopulasi (menghilangkan seluruh populasi ikan) sebagai pilihan yang logis. Semua bahan dan sistem yang terinfeksi ikan seharusnya dihubungi dan diharuskan untuk dibersihkan dan didesinfeksi. Partikel virus di dalam air dapat aktif dalam air sampai sampai tiga hari (Yoshimizu et al 2006.). Namun, protokol desinfeksi yang umum dapat digunakan untuk menghilangkan virus dari sistem air dan [Peralatan lihat UF/IFAS fact sheet "Sanitasi Praktek untuk Fasilitas Budidaya "(VM-87)]. Biofiltrasi dan media biofilter terkena virus juga harus dibersihkan dan didesinfeksi. Sebelum desinfeksi, peralatan harus dibersihkan dari puing-puing bahan organik atau organik build-up, karena akan mengurangi efektifitas disinfektan. Klorinasi merupakan salah satu solusi (Misalnya, pemutih rumah tangga) dapat digunakan untuk hama besar peralatan atau sistem tanpa ikan. Protokol menganjurkan untuk menggunakan klorin 200 ppm (200 mg/L) selama satu jam (Noga 1996). Takaran yang tepat ini tergantung pada bahan aktif  pada jenis klorin yang digunakan. Untuk pemutih rumah tangga, yang merupakan 5,25% sodium hipoklorit per-liter, digunakan 35 mililiter per galon air akan memberikan 200 mg/L pada konsentrasi akhir. Quaternary ammonium compounds (QACs) dapat juga digunakan untuk membersihkan sistem dan peralatan. Senyawa ini terdiri dr empat bagian  senyawa amonium yang lembut di jaring dari solusi klorin.  Konsentrasi QAC yang direkomendasikan untuk desinfeksi adalah 500 ppm (500 mg/L) selama satu jam (Noga 1996). Dosis dari QACs tergantung pada jenis/konsentrasi dalam campuran yang digunakan karena konsentrasi akan bervariasi tergantung atas produk yang akan digunakan. Produk QAC tersebut mungkin berkisar antara 10% sampai 50% bahan aktif. Misalnya, Roccal-D Plus ® (Pharmacia & Upjohn Perusahaan, Pfizer) adalah mengandung sekitar 24% bahan aktif , sehingga konsentrasi perawatan akhir 500 mg/L akan membutuhkan sekitar 7,9 mL Roccal-D Plus ® per galon air. Setelah penggunaan semua jenis desinfektan sebaiknay kita membilas bersih seluruh peralatan untuk menghilangkan sisa disinfektan yang dapat membunuh ikan.
Cara terbaik mencegah KHV adalah dengan mendeteksi virus ini mengunakan analisa laboratorium. Bagi hobiis ikan sebaiknya menanyakan hasil uji laboratorium ikan yang akan dibeli dan memastikan tidak adanya virus KHV. Sebaiknya juga mereka memiliki pemasok ikan yang terpercaya, dan menjalin hubungan baik dengan mereka. Karantina adalah salah satu metode yang paling diandalkan untuk menghindari masuknya patogen ke dalam kolam atau 
fasilitas. Untuk menerapkan prosedur yang efektif dalam melakukan karantina, semua ikan baru yang dating harus disimpan dalam tempat/system terpisah, idealnya di gedung yang berbeda atau tempat terpisah dari populasi ikan yang lama. Ikan  yang ada harus diberi makan, ditangani, dan dipelihara terlebih dahulu sebelum ikan yang baru masuk untuk menghindari kontaminasi. Ikan yang dikarantina membutuhkan peralatan khusus (tersendiri) seperti jaring, ember, dan selang menyedot yang digunakan hanya untuk mereka. Selain itu, mandi, mencuci kaki dan tangan (sterilisasi) juga harus dilakukan oleh siapapunyang memasuki maupun meninggalkan daerah karantina. Ikan harus dikarantina untuk minimal 30 hari. Khusus untuk KHV, koi baru harus dikarantina dalam air yaitu 75 ° F (24 ° C) selama paling sedikit 30 hari. Di akhir periode karantina setiap ikan sakit harus diperiksa oleh seorang dokter hewan dan/ atau laboratorium diagnostik untuk menyingkirkan KHV atau penyakit lainnya . Jika semua ikan tampak sehat, sampel darah harus dikumpulkan dari ikan dikarantina dan diajukan untuk deteksi antibodi baik menggunakan ELISA atau metode VN. Penggemar koi didorong untuk mempromosikan koinya menggunakan pertunjukkan/kontes koi bergaya Inggris, dimana koi yang berbeda  sumber (pemilik) koi ditempatkan dalam tempat yang terpisah selama pertunjukan. Selain itu, jaring dan  peralatan harus disediakan dan digunakan oleh masing-masing peserta untuk  ikan mereka sendiri.
Virus ini tampaknya memiliki masa inkubasi 14 hari setelah bercampurnya ikan terinfeksi atau operator dengan ikan naif (ikan yang belum terinfeksi KHV sebelumnya) (OATA 2001; Ronen et al. 2003). Namun, inkubasi dapat terjadi lebih lama, penelitian menunjukkan bahwa suhu merupakan pemicu yang diperlukan untuk terjadinya wabah (outbreaks). Mortalitas akibat penyakit KHV biasanya terjadi pada suhu antara 72 ° s.d. 78 ° F (22 ° s.d. 25,5 ° C). Hampir tidak ada kematian terjadi di bawah kisaran ini, dan ada hampir tidak ada kejadian penyakit pada suhu di atas 86 ° F (30 ° C)(OATA 2001; Goodwin 2003). Oleh karena itu kita dapat memelihara ikan pada daerah yang memiliki suhu diluar kisaran tersebut (biasanya diatas). Selain itu kondisi suhu diluar kisaran tersebut juga harus stabil (biasanya di kolam terkontrol yang luas dan dalam). Jika kita membudidayakan di Kolam Air Deras dan Karamba di Waduk/Sungai akan sangat mudah terserang oleh virus ini.
Penelitian telah menunjukkan bahwa koi dapat bertahan hidup dari wabah KHV jika kita mengkondisikan suhu air menjadi lebih besar dari 86 ° F (30 ° C) selama terjadinya wabah KHV (Ronen et al. 2003). Namun, teknik ini hanya sedikit meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, dan meningkatkan suhu air di atas 80 ° F secara buatan dalam sistem budidaya dapat mengakibatkan akibat lain seperti : peningkatan kejadian lain seperti serangan bakteri dan parasit yang umum menyerang pada suhu tinggi. Sehingga. suhu air yang tinggi umumnya tidak direkomendasikan untuk pengelolaan sistem budidaya ikan mas dan koi yang dilakukan secara rutin. Selain itu, yang lebih penting, bahwa koi yang bertahan dari serangan KHV akibat pada suhu air yang tinggi akan menjadi carrier pembawa virus di waktu mendatang. Dan bahayanya bahwa koi/ikan mas  pembawa ini merupakan sumber penyakit untuk ikan rentan yang kemudian akan melakukan pelepasan virus dan infeksi ketika kondisinya cocok. Hal lain menyebutkan bahwa carrier ikan ini biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit atau infeksi secara klinis.

5.2. Pengobatan

Sampai saat ini belum ada pengobatan untuk KHV. Obat anti virus tidak tersedia untuk mengobati KHV atau virus lainnya (penyakit virus ikan budidaya). Upaya- Upaya yang sudah dilakukan adalah :

  1. PenggunaanPPenggunaan Vaksin
Penggunaan vaksin untuk KHV pada beberapa tahun belakangan ini tidak ada yang disetujui di AS. Namun, pada eksperimen studi awal vaksin yang menggunakan virus hidup yang dilemahkan dengan suntikan intracoelomic menunjukkan bahwa ikan telah mengembangkan titer antibodi tinggi dan sudah kebal untuk penyakit dan selamat pada uji tantang penyakit KHV (Ronen et al 2003.). Namun, ada potensi bahwa ikan ini mungkin akan menjadi agen pembawa virus dan mungkin dapat menginfeksi ikan dalam system yang memiliki kontak dengan mereka dan pengujian langsung (untuk antibodi) dapat membingungkan jika status vaksinasi tidak pasti.  Imunisasi ikan terhadap virus mungkin merupakan alat yang berguna untuk mengatasi ancaman CNGV. Sayangnya, sejauh ini, semua upaya untuk mengimunisasi carps dengan virus yang dilemahkan atau dengan protein virus telah terbukti berhasil. Untuk memberantas penyakit ini dari system budidaya ikan, dua metode imunisasi ikan dikembangkan di Israel: uji tantang strain ikan dengan virus patogen dan ikan diimunisasi dengan CNGV dilemahkan. Meskipun penggunaan virus yang aktif untuk imunisasi ditemukan cukup efisien, metode ini belum bebas risiko. ikan dengan akuisisi imunitas tertentu. Berdasarkan pengamatan bahwa wabah penyakit keluar ketika suhu air antara 18 dan 28 ° C, I. ejerano mengembangkan protokol untuk memilih ikan mas dan ikan koi dengan alami memiliki kekebalan. Menurut prosedur ini, benih sehat yang terkena virus memiliki kohabitasi dengan ikan sakit selama 2 sampai 5 hari pada 22 sampai 24 ° C (suhu permisif). Setelah suhu air tinggi di atas 30 ° C selama 25 sampai 30 hari, dan ikan kemudian dipindahkan ke udara terbuka kolam. Prosedur ini telah ditemukan memiliki hasil yang cukup efisien, dan 60% dari benih diimunisasi selamat tantangan dengan ikan sakit. Peneliti juga menemukan bahwa ikan dengan kekebalan alami yang diperoleh tetap tahan dalam kolam untuk waktu yang lama, seperti diungkapkan oleh tantangan infeksi bahkan setahun setelah paparan patogenik virus.  Sejauh ini, menggunakan primer spesifik cukup efisien dalam PCR konvensional, kami dan lainnya telah bisa mendeteksi laten virus DNA dalam organ ikan dengan alami diperoleh kekebalan. Namun, Gilad et al. menemukan jejak-jejak kecil virus DNA dalam hidup ikan di 64 dpi dengan menggunakan TaqMan real-time  PCR. Perkembangan Vaksin Efisien terhadap Virus Imunisasi ikan mas dengan suntikan virus yang tidak aktif gagal sejauh ini. Live, vaksin dilemahkan berpotensi memiliki banyak keuntungan dalam budidaya. Secara umum, vaksin hidup merangsang semua tahap dari sistem kekebalan tubuh, sehingga seimbang, sistemik dan lokal yang melibatkan respon humoral dan seluler cabang dari sistem kekebalan tubuh. Keuntungan menggunakan Vaksin virus hidup dilemahkan sangat menonjol dalam ikan, mana virus panas-dilemahkan adalah buruk imunogenik dan besar jumlah protein yang diperlukan untuk mencapai yang efisien dan tahan lama respon imun (29, 30). Namun, peluang yang virus bermutasi dikembalikan akan muncul dan mengancam diimunisasi populasi sangat kecil. Percobaan untuk mencapai virus dilemahkan nonpathogenik telah dilakukan di Israel sejak tahun 2003 (34, 40). Virud yang dilemahkan diisolasi setelah transfer serial dari Israel CNGV isolat di KFC. Virus dipanen setelah 20 bagian dalam budaya yang disebabkan penyakit ini dalam persentase kecil naif benih berikut suntikan atau mandi. Hal ini dapat mempostulatkan, oleh karena itu, bahwa perubahan genetik yang akumulasi baik di sel inang genom virus dan memfasilitasi isolasi virus dilemahkan. Virus dilemahkan adalah kloning ke dalam kultur jaringan untuk menghindari rekombinasi yang tidak diinginkan, komplementasi, dan pengembalian terhadap virus patogen. kloning virus Beberapa UV diiradiasi dan kemudian recloned dalam rangka mutasi memasukkan tambahan ke dalam genom virus. Saat ini, klon virus dilemahkan tidak dipilih tidak menyebabkan penyakit mematikan dan efisien melindungi diimunisasi ikan terhadap infeksi tantangan. 
Meskipun bermanfaat bagi perikanan Israel, metode ini memiliki beberapa kelemahan:
(i) Dengan menggunakan metode ini, petani menyebarkan virus patogen melalui banyak system budiday perikanan dan resiko menyebar ke dalam populasi ikan mas liar (perairan umum); (ii) Prosedur melibatkan hilangnya 40% atau lebih dari populasi benih; (iii) secara ekonomis prosedurnya mahal, dan (iv) paling penting, ia melibatkan resiko besar, karena patogen CNGV/KHV digunakan untuk imunisasi dapat bertahan pada ikan tubuh dan dapat mereproduksi stres berikut, mendorong penyakit dalam ikan terinfeksi diri mereka sendiri dan/atau di nonimmunized ikan. Dalam studi yang lain (Shinya yasumoto et al (2006) telah dibuat vaksin liposome dengan efektifitas dapat menghasilkan mortalitas 20%, sedangkan pada control 60-80%. Ayana perelberg (2005) menggambarkan kondisi dasar yang diperlukan untuk imunisasi ikan yang tepat sehingga protokol perlindungan mungkin perlu dikembangkan.Kami menunjukkan bahwa ikan mas sangat sensitive terhadap perendaman patogen dan virus dilemahkan, perendaman ikan dalam waktu pendek di air yang mengandung virus cukup untuk infeksi. Infeksi ikan dengan patogen dan virus yang dilemahkan dilakukan pada suhu-terbatas; ternyata ikan yang dipelihara di suhu non-permisif setelah infeksi, tidak terpengaruh oleh virus patogen, dan tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, perbanyakan 506uo miyasakira, virusmon carpdari virus dalam benih adalah prasyarat untuk imunisasi. Dalam rangka meningkatkan jumlah mutasi acak dalam genom dari virus dilemahkan, dan dengan demikian, mengurangi kemungkinan virus dilemahkan berbalik ke patogen, di iradiasi dan klon tambahan yang dipilih sesuai untuk vaksinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksin profilaksis yang aman dan efisien dapat dikembangkan dengan memilih sesuai dilemahkan virus. Dalam penelitian Ariel Ronen (2003) menunjukkan bahwa ikan mas yang terkena terkena virus CNGV di pelihara 23 ◦ C selama 3-5 hari dan kemudian dipindahkan ke suhu non-permisif 30 ◦ C, menjadi resisten terhadap sebuah uji tantang dan sera mereka menunjukkan tingkat antibodi yang tinggi terhadap spesifik virus ini. Kami telah mengisolasi virus non-patogen yang dilemahkan carps membuat virus divaksinasi tahan terhadap penyakit.Selanjutnya, ikan divaksin mengembangkan tingkat tinggi antibodi terhadap virus. Mereka juga menyarankan bahwa jika virus ini dilemahkan dapat digunakan sebagai vaksin hidup untuk pemberantasan penyakit nyata yang melanda ikan mas dan koi di banyak negara.
Sedangkan dalam Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur 3 dalam Abstrak makalahnya Sri Nuryati et al (2010) memaparkan tentang hasil penelitiannya mengenai vaksin DNA untuk virus KHV. Mereka menerangkan bahwa Vaksin DNA merupakan vaksin yang menggunakan vector ekspresi DNA yang mengandung promotor eukariota untuk mengendalikan sintesis protein immunogenik secara invivo, sehinga respon imun inang dapat tereduksi. Vaksin DNA mampu membngkitkan respon kekebalan seluler maupun humoral, dan tidak dapat menimbulkan infeksi, karena yang dimasukkan hanya bagian tertentu saja dari virus (lebih aman). Ketiadaan rsiko infeksi ini sekaligus memperbaiki kelemahan vaksin yang telah berkembang terlebih dahulu , yaitu vaksin utuh yang dilemahkan (attenuated vaccine). Infeksi virus KHV dapat menyebabkan kematian missal pada ikan mas dan koi. Kemajuan penelitian vaksin DNA untuk virus KHV ini akan ditinjau lagi sebelum dipasarkan secara komersial.

B.    Memilih strain dan persilangan yang lebih tahan terhadap infeksi virus. 
        
Scrining beberapa strain ikan mas yang dapat dimakan dan persilangan mereka mengungkapkan bahwa Dor-70 Ikan mas liar-jenis tertentu agak tahan terhadap infeksi CNGV (selamat 60,7%) (43). Namun, desain dan pengembangan ikan mas strain resisten untuk CNGV akan memerlukan penggunaan alat genetika molekuler yang modern .
Jørgen Ødegård 2010 meneliti estimasi efek strain, heritabilitas dan korelasi genetik untuk bertahan hidup terhadap serangan Aeromonas hydrophila dan perlawanan terhadap Koi Herpes Virus (KHV) yang diperoleh dari silang dialel dari 92 keluarga penuh-saudara dari ikan mas umum yang dihasilkan dari empat strain (Szarvas 15, Tata, Duna dan Amur). betina yang digunakan 5 ekor dan jantan yang digunakan 10 ekor per strain. Resistensi penyakit diperoleh dari data kelangsungan hidup dari uji tantang menggunakan injeksi intraperitoneal  A. hydrophila dan hidup bersama untuk KHV. Dua uji tantang yang terpisah dilakukan untuk melihat respon masing-masing penyakit.  Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah 44% dan 34% untuk dua tes A. hydrophila, dan 7% dan 5% untuk dua tes KHV. Kelangsungan hidup dalam kolam (rata-rata 78%) diamati selama periode enam bulan sebelum panen (sekitar 18 bulan usia). Ketiga sifat dianalisis bersama-sama dalam model ambang multivariate. Untuk KHV, strain Szarvas 15 telah yang teramati memiliki SR terendah (0%) diikuti oleh Amur (11%), Duna (12%) dan Tata (21%), sedangkan untuk A. hydrophila, kelangsungan (ras) terendah diamati untuk Duna (28%) diikuti oleh Amur (31%), Szarvas 15 (38%) dan Tata (48%). 
Metodologi seperti lokus, sifat kuantitatif dan mikroarray. Meskipun demikian ini bisa dicobakan untuk masa mendatang. Gen Histocompatability Complexs (MHC) adalah elemen-elemen penting dari pembawa kekebalan adaptif. Polimorfisme yang tinggi membuat gen-gen MHC sangat cocok untuk dipelajari tentang hubungan dengan ketahanannya terhadap serangan penyakit. Dalam ikan mas (Cyprinus carpio L.), ada dua kelompok paralog kelas MH II gen B, Cyca-DAB1 seperti dan gen seperti Cyca-DAB3. Gen-gen Cyca-DAB1 sepertinya memiiki spesiali khusus, dapat dikaitkan dengan polimorfisme tinggi dan meningkatkan respon antibodi. Studi ini diharapkan dapat menganalisis hubungan antara Cyca-DAB1 seperti genotipe, seperti diungkapkan oleh Polymerase Chain Reaction (PCR) – Restriction Fragment – Siggle Strand Conformation Polimorfishm (PCR-RF-SSCP), dan tahan penyakit. (Rakus et al, 2008) menggunakan sejumlah besar individu dari latar belakang genetik yang berbeda dan melakukan tantangan penyakit standar dengan bakteri Aeromonas hydrophila, Argulus ektoparasit japonicus, dan parasit darah Trypanoplasma borreli. Genotyping mengungkapkan adanya n=9 genotipe Cyca-DAB1-seperti yang unik, yang tiga
genotipe (B, D, dan E) yang paling umum. Kita bisa mendeteksi hubungan yang signifikan antara E genotype dan rendahnya tingkat japonicus A. dan antara genotipe D dan tingkat lebih tinggi parasitemia setelah borreli T. infeksi. 

Kelompok Cyca-DAB1-like gen terdiri (setidaknya) dua salinan gen, Cyca-DAB1 dan Cyca-DAB2. Kami mengamati hubungan yang signifikan antara heterosigositas Cyca-DAB1 dan tingkat yang lebih rendah parasitemia setelah infeksi borreli T.. Cyca-DAB2 sering homozigot atau tidak ada. Data kami menunjukkan bahwa polimorfisme alelik Cyca-DAB1 dapat digunakan sebagai penanda genetik potensial dalam program pemuliaan masa depan umum ikan mas yang dimungkinkan juga sebagai gen penanda ikan mas tahan KHV. Di Indonesia sendiri tepatnya di BBPBAT Sukabumi sudah mengidentifikasi beberapa strain induk ikan yang ada yang memiliki gen marker/penanda MHC.
Sedangkan di tempat yang lain, tepatnya di BBAT Jambi juga melakukan pemuliaan induk ikan mas strain majalaya yang masih hidup akibat serangan KHV (survivor) untuk dapat dijadikan strain yang tahan KHV (resisten). Sampai tahun 2010 sudah sampai generasi ke 4 sebanyak 280 jantan dan 580 ekor betina (dimana setiap generasinya dilakukan uji tantang dan diambil survivornya). Kemudian pada tahun 2010 dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan gen penanda tahan KHV (marker MHC), ternyata dari calon induk yang ada > 97% memiliki marker tahan KHV (yang 3 % tidak keluar hasil analisanya). Jadi dalam beberapa tahun mendatang masyarakat pembudidaya ikan mas memiliki harapan untuk kembali meningkatkan produksi ikan mas seperti sebelum adanya serangan KHV.